Minggu, 09 Desember 2012

Rusun Buddha Tzu Chi Bisa Jadi Model Jokowi

Oleh : Windoro Adi

KOMPAS.com — Apa jadinya Jakarta tanpa kehadiran para pedagang sayur, buah, dan bumbu, para sopir, pemilik warung Tegal, atau para pengasong nasi pecel? Apa jadinya Jakarta tanpa para pemulung, pembantu rumah tangga, penggali tanah, petugas kebersihan, kuli panggul di pasar-pasar, atau para pekerja dan pemodal informal lainnya? Indeks biaya hidup Jakarta bakal tak terjangkau lagi oleh kalangan kelas menengah. Hal ini akhirnya berimbas pada kalangan atas juga.

Bayangkan bila semua barang dan jasa harus dibeli di mal-mal, rumah-rumah makan, atau kantor-kantor biro jasa. Biaya produksi bakal membengkak. Membiarkan masyarakat kelas bawah kian rapuh sama saja dengan membiarkan kalangan kelas menengah ikut rapuh. Dan itu artinya, membuat kalangan atas pun rapuh.

Dengan asumsi seperti itulah, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama, mengawali pembenahan Jakarta dengan menertibkan dan memberdayakan "kaum informal" (kalangan kelas bawah yang umumnya bekerja di sektor informal). Fokus mereka, meremajakan dan membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa), penertiban dan pemberdayaan pedagang kakilima, serta kombinasi di antara keduanya—membangun pasar berusunawa.

Meski demikian, ada batas pertumbuhan yang bakal sampai pada piramida sosial dan ekonomi ideal. Setelah itu, tak ada cara lain selain menggalakkan kembali kegiatan transmigrasi sampai ketimpangan ekonomi pusat dan daerah, berakhir.

Tak berpenghuni

Pengalaman tiga tahun terakhir sejak 2007 menunjukkan, pembangunan rusunawa dinilai lebih tepat ketimbang pembangunan rumah susun sederhana hak milik (rusunami) bagi kaum informal. Bagi mereka, biaya sewa rusunawa Rp 60.000-Rp 160.000 per bulan lebih terjangkau ketimbang mengangsur rusunami yang harga per unitnya kini sudah mencapai Rp 145 juta.

Langkah peremajaan diawali dengan kunjungan Joko Widodo ke Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut), Rabu (24/10/2012) lalu. Tampak sejumlah fasilitas rusunawa rusak. Tak ada yang bertanggung jawab siapa yang memelihara dan mengamankan rusunawa tersebut. Sebab, kata Kepala Unit Pengelola Teknis Rusunawa Jakut Kusnindar, rusunawa yang dibangun pemerintah pusat belum diserahkan pengelolaannya ke Pemprov DKI.

Hal serupa terjadi di rusunawa Karyawan Dinas Kebersihan di RT 005 dan RW 05, Cengkareng Barat, Jakarta Barat (Jakbar). Sejak rusunawa ini didirikan tahun 2006, bangunan yang terdiri dari 200 unit hunian ini belum dihuni meski sudah dua kali diperbaiki. Kali ini alasannya, salah urus Pemprov.

Di Jakut dan Jakarta Timur, 2.430 unit rusunawa belum dihuni. Di Jakut, 1.080 unit di rusunawa Marunda, 600 unit di rusunawa Jalan Komarudin, dan 400 unit di Jalan Pinus Elok. Di Jaktim, 150 unit di rusunawa Cakung Barat, dan 200 unit di rusunawa Cipinang Besar Selatan.

Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Novizal, jumlah rusunawa yang belum dihuni di seluruh Jakarta mencapai 4.180 unit atau sekitar sepertiga dari seluruh rusunawa yang ada di Jakarta.

Sementara itu, dua pertiga rusunawa di Jakarta yang berpenghuni justru minim pemeliharaan. Rusunawa di Tambora dan rusunawa Bulak Wadon di Cengkareng, Jakbar, misalnya. Pipa-pipa air kotor yang sudah sebagian rusak merembes ke dinding, menimbulkan bau tak sedap.

Ideal

Karut-marut pengelolaan rusunawa oleh Pemprov DKI sebenarnya tak perlu terjadi jika Pemprov DKI sejak awal membangun mau konsisten mencontoh kehadiran rusunawa Buddha Tzu Chi di RW 17 Cengkareng Timur, Cengkareng, Jakbar. Rusunawa ini mulai dihuni 5 Juli 2003, sementara sebagian besar rusunawa di Jakarta dibangun tahun 2005.

Rusunawa Buddha Tzu Chi memiliki 55 blok yang masing-masing berlantai lima. Setiap lantai memiliki empat unit berukuran masing-masing 6 meer x 6 meter yang terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang keluarga, dapur, dan ruang cuci. Jumlah seluruh unit, 1.100.

Sebanyak 150 unit di antaranya digunakan untuk mes, kios, gudang, dapur operasional, tempat tinggal pengelola, dokter, karyawan rumah sakit dan guru yang bekerja di sekolah dan rumah sakit Budha Tzu Chi yang masih berada di kompleks rusunawa ini. Kompleks bangunan ini juga dilengkapi pemulasaraan jenazah, mushola, lapangan sepak bola, futsal, basket, voli, badminton, dan tenis meja.

Rusunawa yang dibangun di atas lahan 5,1 hektar ini menghabiskan dana 8,5 juta dollar AS atau Rp 70 miliar dengan penyandang dana, Nyonya Liu Su Mei, Sugianto Kusuma atau A Guan, dan Franky Ongko Widjaja.

Sudiyono dari bagian humas rusunawa Buddha Tzu Xhi menjelaskan, penghuni pertama rusunawa ini adalah warga DKI yang tergusur dari bantaran Kali Angke. Total yang dipindahkan 850 kepala keluarga (KK).

"Sebelum dipindahkan ke rusunawa, setiap KK mendapat uang saku Rp 500.000 untuk hidup selama setahun di 'pengungsian'. Jumlah penghuni saat ini ada 3.500 jiwa dari 692 KK. Penghuni susulan yang masuk ke rusunawa ini adalah warga DKI yang telah mendapat rekomendasi dari lurah dan camat, menyangkut batas tingkat kesejahteraan mereka yang boleh menghuni rusunawa ini," tutur Sudiyono yang ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Jujur, tertib

Ia menjelaskan, pengelola sangat mengutamakan kejujuran, ketertiban, dan disiplin para penghuni. "Yang tertangkap mengalihkan rusunawa pada pihak lain, atau tersangkut kejahatan, angkat kaki dari rusunawa," ujar Sudiyono.

Untuk masalah ketertiban dan disiplin penghuni, pengelola mengandalkan pendampingan ratusan relawan Buddha Tzu Chi. Para relawan inilah yang mengawasi, menegur, serta membimbing para penghuni yang melanggar tata tertib rusunawa. "Kami menempel selebaran tata tertib di setiap pintu unit rusunawa para penghuni," ujar Sudiyono.

Setelah perilaku hidup tertib dan bersih para penghuni terbentuk, jumlah relawan pendamping secara bertahap dikurangi. "Sekarang jumlah pengelola rusunawa ini hanya sembilan orang. Kami tidak kerepotan lagi mengontrol ketertiban dan kebersihan rusunawa ini karena masing-masing penghuni sudah sadar pentingnya ketertiban dan kebersihan rusunawa ini," jelas Sudiyono.

Setiap bulan, lanjutnya, yayasan memberi subsidi pengelolaan sebesar Rp 100 juta. Dengan demikian, para penghuni hanya ditarik sewa Rp 70.000-Rp 90.000 per bulan. "Kami menyebutnya bukan sewa, tetapi iuran pengelolaan lingkungan," kata Sudiyono.

Ia menjelaskan, untuk memberdayakan para penghuni, pengelola mengadakan kegiatan jahit menjahit, membuat kue, belajar komputer, serta kejar Paket C. Sayang, kegiatan ini hanya berjalan dua tahun karena terbatasnya dana subsidi dari yayasan. Meski demikian, para pengurus lingkungan rusunawa melanjutkan kegiatan pemberdayaan ini secara mandiri.

Tahun 2003, lewat divisi hasta karya rusunawa, diadakan tawaran kerja bekerjasama dengan perusahaan lain. Lagi-lagi hanya bertahan beberapa tahun saja. "Tapi setidaknya kami pernah melakukan dan menjadi inspirasi para pengurus lingkungan melanjutkan kegiatan ini," ucap Sudiyono.

Kini, sejumlah penghuni bisa hidup layak dari jasa mencuci, menyeterika, serta penitipan anak. Sebagian lain membuka warung di ruang terbuka kompleks rusunawa.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More