Oleh : Windoro Adi
KOMPAS.com — Apa jadinya Jakarta tanpa kehadiran para
pedagang sayur, buah, dan bumbu, para sopir, pemilik warung Tegal, atau para
pengasong nasi pecel? Apa jadinya Jakarta tanpa para pemulung, pembantu rumah
tangga, penggali tanah, petugas kebersihan, kuli panggul di pasar-pasar, atau
para pekerja dan pemodal informal lainnya? Indeks biaya hidup Jakarta bakal tak
terjangkau lagi oleh kalangan kelas menengah. Hal ini akhirnya berimbas pada
kalangan atas juga.
Bayangkan bila semua barang dan jasa harus dibeli di
mal-mal, rumah-rumah makan, atau kantor-kantor biro jasa. Biaya produksi bakal
membengkak. Membiarkan masyarakat kelas bawah kian rapuh sama saja dengan
membiarkan kalangan kelas menengah ikut rapuh. Dan itu artinya, membuat
kalangan atas pun rapuh.
Dengan asumsi seperti itulah, Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo dan pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama, mengawali pembenahan Jakarta
dengan menertibkan dan memberdayakan "kaum informal" (kalangan kelas
bawah yang umumnya bekerja di sektor informal). Fokus mereka, meremajakan dan
membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa), penertiban dan pemberdayaan
pedagang kakilima, serta kombinasi di antara keduanya—membangun pasar
berusunawa.
Meski demikian, ada batas pertumbuhan yang bakal sampai pada
piramida sosial dan ekonomi ideal. Setelah itu, tak ada cara lain selain
menggalakkan kembali kegiatan transmigrasi sampai ketimpangan ekonomi pusat dan
daerah, berakhir.
Tak berpenghuni
Pengalaman tiga tahun terakhir sejak 2007 menunjukkan,
pembangunan rusunawa dinilai lebih tepat ketimbang pembangunan rumah susun
sederhana hak milik (rusunami) bagi kaum informal. Bagi mereka, biaya sewa
rusunawa Rp 60.000-Rp 160.000 per bulan lebih terjangkau ketimbang mengangsur
rusunami yang harga per unitnya kini sudah mencapai Rp 145 juta.
Langkah peremajaan diawali dengan kunjungan Joko Widodo ke
Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut), Rabu (24/10/2012) lalu.
Tampak sejumlah fasilitas rusunawa rusak. Tak ada yang bertanggung jawab siapa
yang memelihara dan mengamankan rusunawa tersebut. Sebab, kata Kepala Unit
Pengelola Teknis Rusunawa Jakut Kusnindar, rusunawa yang dibangun pemerintah
pusat belum diserahkan pengelolaannya ke Pemprov DKI.
Hal serupa terjadi di rusunawa Karyawan Dinas Kebersihan di
RT 005 dan RW 05, Cengkareng Barat, Jakarta Barat (Jakbar). Sejak rusunawa ini
didirikan tahun 2006, bangunan yang terdiri dari 200 unit hunian ini belum
dihuni meski sudah dua kali diperbaiki. Kali ini alasannya, salah urus Pemprov.
Di Jakut dan Jakarta Timur, 2.430 unit rusunawa belum
dihuni. Di Jakut, 1.080 unit di rusunawa Marunda, 600 unit di rusunawa Jalan
Komarudin, dan 400 unit di Jalan Pinus Elok. Di Jaktim, 150 unit di rusunawa
Cakung Barat, dan 200 unit di rusunawa Cipinang Besar Selatan.
Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI
Novizal, jumlah rusunawa yang belum dihuni di seluruh Jakarta mencapai 4.180
unit atau sekitar sepertiga dari seluruh rusunawa yang ada di Jakarta.
Sementara itu, dua pertiga rusunawa di Jakarta yang
berpenghuni justru minim pemeliharaan. Rusunawa di Tambora dan rusunawa Bulak
Wadon di Cengkareng, Jakbar, misalnya. Pipa-pipa air kotor yang sudah sebagian
rusak merembes ke dinding, menimbulkan bau tak sedap.
Ideal
Karut-marut pengelolaan rusunawa oleh Pemprov DKI sebenarnya
tak perlu terjadi jika Pemprov DKI sejak awal membangun mau konsisten mencontoh
kehadiran rusunawa Buddha Tzu Chi di RW 17 Cengkareng Timur, Cengkareng,
Jakbar. Rusunawa ini mulai dihuni 5 Juli 2003, sementara sebagian besar
rusunawa di Jakarta dibangun tahun 2005.
Rusunawa Buddha Tzu Chi memiliki 55 blok yang masing-masing
berlantai lima. Setiap lantai memiliki empat unit berukuran masing-masing 6
meer x 6 meter yang terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang
keluarga, dapur, dan ruang cuci. Jumlah seluruh unit, 1.100.
Sebanyak 150 unit di antaranya digunakan untuk mes, kios,
gudang, dapur operasional, tempat tinggal pengelola, dokter, karyawan rumah
sakit dan guru yang bekerja di sekolah dan rumah sakit Budha Tzu Chi yang masih
berada di kompleks rusunawa ini. Kompleks bangunan ini juga dilengkapi
pemulasaraan jenazah, mushola, lapangan sepak bola, futsal, basket, voli,
badminton, dan tenis meja.
Rusunawa yang dibangun di atas lahan 5,1 hektar ini
menghabiskan dana 8,5 juta dollar AS atau Rp 70 miliar dengan penyandang dana,
Nyonya Liu Su Mei, Sugianto Kusuma atau A Guan, dan Franky Ongko Widjaja.
Sudiyono dari bagian humas rusunawa Buddha Tzu Xhi
menjelaskan, penghuni pertama rusunawa ini adalah warga DKI yang tergusur dari
bantaran Kali Angke. Total yang dipindahkan 850 kepala keluarga (KK).
"Sebelum dipindahkan ke rusunawa, setiap KK mendapat
uang saku Rp 500.000 untuk hidup selama setahun di 'pengungsian'. Jumlah
penghuni saat ini ada 3.500 jiwa dari 692 KK. Penghuni susulan yang masuk ke
rusunawa ini adalah warga DKI yang telah mendapat rekomendasi dari lurah dan
camat, menyangkut batas tingkat kesejahteraan mereka yang boleh menghuni
rusunawa ini," tutur Sudiyono yang ditemui di ruang kerjanya beberapa
waktu lalu.
Jujur, tertib
Ia menjelaskan, pengelola sangat mengutamakan kejujuran,
ketertiban, dan disiplin para penghuni. "Yang tertangkap mengalihkan
rusunawa pada pihak lain, atau tersangkut kejahatan, angkat kaki dari
rusunawa," ujar Sudiyono.
Untuk masalah ketertiban dan disiplin penghuni, pengelola
mengandalkan pendampingan ratusan relawan Buddha Tzu Chi. Para relawan inilah
yang mengawasi, menegur, serta membimbing para penghuni yang melanggar tata
tertib rusunawa. "Kami menempel selebaran tata tertib di setiap pintu unit
rusunawa para penghuni," ujar Sudiyono.
Setelah perilaku hidup tertib dan bersih para penghuni
terbentuk, jumlah relawan pendamping secara bertahap dikurangi. "Sekarang
jumlah pengelola rusunawa ini hanya sembilan orang. Kami tidak kerepotan lagi
mengontrol ketertiban dan kebersihan rusunawa ini karena masing-masing penghuni
sudah sadar pentingnya ketertiban dan kebersihan rusunawa ini," jelas
Sudiyono.
Setiap bulan, lanjutnya, yayasan memberi subsidi pengelolaan
sebesar Rp 100 juta. Dengan demikian, para penghuni hanya ditarik sewa Rp 70.000-Rp
90.000 per bulan. "Kami menyebutnya bukan sewa, tetapi iuran pengelolaan
lingkungan," kata Sudiyono.
Ia menjelaskan, untuk memberdayakan para penghuni, pengelola
mengadakan kegiatan jahit menjahit, membuat kue, belajar komputer, serta kejar
Paket C. Sayang, kegiatan ini hanya berjalan dua tahun karena terbatasnya dana
subsidi dari yayasan. Meski demikian, para pengurus lingkungan rusunawa
melanjutkan kegiatan pemberdayaan ini secara mandiri.
Tahun 2003, lewat divisi hasta karya rusunawa, diadakan tawaran
kerja bekerjasama dengan perusahaan lain. Lagi-lagi hanya bertahan beberapa
tahun saja. "Tapi setidaknya kami pernah melakukan dan menjadi inspirasi
para pengurus lingkungan melanjutkan kegiatan ini," ucap Sudiyono.
Kini, sejumlah penghuni bisa hidup layak dari jasa mencuci,
menyeterika, serta penitipan anak. Sebagian lain membuka warung di ruang
terbuka kompleks rusunawa.
Sumber : http://megapolitan.kompas.com